Beberapa
waktu lalu, saya mengikuti Lomba Menulis Festival Cerita Anak Nusantara. Saya
memilih tema kesenian tradisional Salatiga, drumblek, dan memadukannya dengan
makanan khas Salatiga, ampyang kacang dan enting-enting gepuk. Karena saya
menyukai literasi numerasi, saya masukkan sedikit hitungan matematika yang pas
untuk anak usia Sekolah Dasar. Di cerita ini, saya pakai dua tokoh anak yang
pernah saya pakai juga di cerita “Rumah-rumahan Buat Seto”.
Berikut
ceritanya..
Kuluk Drumblek Buat Seto
“Ampyang
kacang, enting-enting gepuk. Satunya dua ribu rupiah saja.” Asih setengah
berteriak menawarkan jualannya. “Ampyang, enting-enting, khas Salatiga.”
Satu tangan Asih membawa keranjang jualan dan tangan lainnya menggandeng
Seto, adiknya. Asih berjalan di tengah keramaian orang yang datang dari
berbagai kota. Ramai sekali kirab budaya kali ini. Katanya akan ada penampilan
beberapa grup drumblek, kesenian asli Salatiga.
“Lihat, pasukan drumblek sudah mulai kelihatan.” Mendengar teriakan orang-orang,
Asih segera menarik Seto untuk menerobos kerumunan. Mencari tempat di bagian
depan.
Dukdurukduruk plek duk, dukdurukduruk plek duk. Suara drumblek sudah
mulai terdengar. Drumblek mirip drumben, tapi alat musik yang digunakan terbuat
dari barang-barang bekas, seperti : tong plastik, kaleng, galon, dan bambu.
Meski alat musik yang dipakai terbuat dari barang-barang bekas, mereka
tetap bisa menghasilkan suara yang indah dan menarik. Itu karena para pemain
mengikuti arahan mayoret dengan baik.
“Sini, To!” Asih memberi tempat pada Seto supaya bisa melihat pasukan
drumblek lebih jelas.
Seto senang sekali. Dia berjoget mengikuti irama drumblek. “Besok besar,
Seto mau jadi seperti itu,” kata Seto sambil menunjuk penabuh tong plastik
besar.
Satu per satu pasukan drumblek melewati mereka. Kostumnya yang ramai dan
memikat, membuat barisan tampak semakin menarik. Mereka memakai mahkota besar
yang terbuat dari bulu ayam atau bulu angsa. Ada yang menyebutnya kuluk. Warna
bulunya berwarna-warni, senada dengan rumbai-rumbai di pakaiannya.
“Mbak, Seto ingin itu,” rengek
Seto. Dia menunjuk sebuah kuluk drumblek yang dipajang penjual dadakan di pasar
kirab.
Tak tega mendengar adiknya merengek, Asih mendekati penjualnya.
“Harganya berapa, Lik?” tanya Asih pada Pak Lik penjual, sambil menunjuk sebuah
kuluk.
“Yang kecil Rp15.000, kalau yang besar Rp25.000. Mau beli yang mana?”
tanya si penjual.
“Sebentar, Lik.” Asih menjauh untuk menghitung hasil jualannya.
“Tadi Ibu membawakan 20 ampyang dan 30 enting-enting. Harga satunya
Rp2.000. Kalau habis terjual, akan mendapatkan Rp100.000,” gumam Asih sambil
mengeluarkan dompetnya.
“Seto mau beli, Mbak,” rengek Seto sambil menarik baju Asih.
Asih menempelkan telunjuknya ke bibir Seto. Tanda Seto harus diam
sebentar.
“Kata Ibu, semua keuntungan penjualan hari ini boleh untukku.
Keuntungannya 25% = 25/100 x Rp100.000 = Rp25.000.” Asih bergumam lagi sambil
berhitung. “Jadi kalau terjual semua, cukup untuk membeli kuluk.”
Tapi masih ada sisa 10 ampyang dan 10 enting-enting di dalam keranjang.
Asih menunda membelikan kuluk buat Seto.
“Belum jadi beli, Lik. Uangnya belum cukup,” kata Asih berpamitan.
Asih masih merayu Seto supaya tidak merengek terus, ketika Bu Dhe Nur
memanggilnya, “Sih, sini. Bu Dhe beli ampyangnya. Sisa berapa? Enting-entingnya
juga sekalian, Bu Dhe beli semua.” Bu Dhe Nur senang melihat Asih yang giat
membantu ibunya.
“Jadi berapa semuanya?” tanya Bu Dhe Nur.
“Semua Rp40.000, Bu Dhe,” jawab Asih sambil membungkus semua ampyang dan
enting-enting di keranjangnya.
“Oke, sebentar Bu Dhe ambilkan uangnya, ya.”
Ketika menunggu, Asih melihat banyak bulu ayam berserakan di dekat
kandang ayam Bu Dhe Nur. Tiba-tiba Asih punya ide.
“Ini, Sih. Sisanya buat jajan Asih dan Seto saja,” kata Bu Dhe Nur
sambil memberikan selembar lima puluh ribuan.
“Wah, terima kasih banyak, Bu Dhe,“ sahut Asih berbinar. “Oiya, Bu Dhe,
Asih boleh minta bulu-bulu ayam itu?”
“Ambil saja yang banyak,” kata Bu Dhe Nur.
“Terima kasih, Bu Dhe.”
Asih memilih bulu-bulu yang masih bagus dan bersih. Setelah dirasa
cukup, Asih segera berpamitan.
“To, kita langsung pulang, ya. Nanti Mbak buatkan kamu sesuatu yang
bagus,” ajak Asih.
Seto masih cemberut, tapi menurut ketika Asih menggandengnya pulang.
Sampai di rumah, Asih segera mengambil karton sisa prakaryanya, memotong
seukuran kepala Seto. Lalu Asih menempelkan bulu-bulu ayam yang sudah
dibersihkan. Berjajar rapi mulai dari pinggir sampai ujung kepala, sampai ke
pinggir lagi, begitu seterusnya sampai membentuk mahkota besar yang indah.
Melihat yang dibuat mbaknya, Seto menari-nari kegirangan. “Asyik, Seto
punya kuluk.”
Selesai membuat, kuluk dipakaikan di kepala Seto. Pas. Seto senang
sekali.
“Tunggu dulu,” kata Asih sambil berlari ke belakang rumah.
Asih mengambil sebuah tong plastik bekas yang sudah dibersihkan, lalu memasangkan
tali di sekelilingnya. Jadilah drum kecil. Asih mengalungkannya di pundak Seto,
lalu memberinya sepasang kayu sebagai pemukul.
“Yak, Seto si pemain drumblek, dukdurukduruk plek duk, dukdurukduruk
plek duk,” ucap Asih.
Sisa hari itu, Seto bermain dengan hati riang.
Ibu ikut senang melihatnya. Asih pun tak kalah senang. Karena adiknya
gembira, dan karena keuntungan jualan hari ini bisa ditabungnya.
**Selesai**