Search This Blog

> Belajar Matematika dan Sains Menyenangkan

Sunday, December 28, 2025

Kuluk Drumblek Buat Seto


Beberapa waktu lalu, saya mengikuti Lomba Menulis Festival Cerita Anak Nusantara. Saya memilih tema kesenian tradisional Salatiga, drumblek, dan memadukannya dengan makanan khas Salatiga, ampyang kacang dan enting-enting gepuk. Karena saya menyukai literasi numerasi, saya masukkan sedikit hitungan matematika yang pas untuk anak usia Sekolah Dasar. Di cerita ini, saya pakai dua tokoh anak yang pernah saya pakai juga di cerita “Rumah-rumahan Buat Seto”.

Berikut ceritanya..

 

 

Kuluk Drumblek Buat Seto


“Ampyang kacang, enting-enting gepuk. Satunya dua ribu rupiah saja.” Asih setengah berteriak menawarkan jualannya. “Ampyang, enting-enting, khas Salatiga.”

Satu tangan Asih membawa keranjang jualan dan tangan lainnya menggandeng Seto, adiknya. Asih berjalan di tengah keramaian orang yang datang dari berbagai kota. Ramai sekali kirab budaya kali ini. Katanya akan ada penampilan beberapa grup drumblek, kesenian asli Salatiga.

“Lihat, pasukan drumblek sudah mulai kelihatan.” Mendengar teriakan orang-orang, Asih segera menarik Seto untuk menerobos kerumunan. Mencari tempat di bagian depan.

Dukdurukduruk plek duk, dukdurukduruk plek duk. Suara drumblek sudah mulai terdengar. Drumblek mirip drumben, tapi alat musik yang digunakan terbuat dari barang-barang bekas, seperti : tong plastik, kaleng, galon, dan bambu.

Meski alat musik yang dipakai terbuat dari barang-barang bekas, mereka tetap bisa menghasilkan suara yang indah dan menarik. Itu karena para pemain mengikuti arahan mayoret dengan baik.

“Sini, To!” Asih memberi tempat pada Seto supaya bisa melihat pasukan drumblek lebih jelas.

Seto senang sekali. Dia berjoget mengikuti irama drumblek. “Besok besar, Seto mau jadi seperti itu,” kata Seto sambil menunjuk penabuh tong plastik besar.

Satu per satu pasukan drumblek melewati mereka. Kostumnya yang ramai dan memikat, membuat barisan tampak semakin menarik. Mereka memakai mahkota besar yang terbuat dari bulu ayam atau bulu angsa. Ada yang menyebutnya kuluk. Warna bulunya berwarna-warni, senada dengan rumbai-rumbai di pakaiannya.

 “Mbak, Seto ingin itu,” rengek Seto. Dia menunjuk sebuah kuluk drumblek yang dipajang penjual dadakan di pasar kirab.

Tak tega mendengar adiknya merengek, Asih mendekati penjualnya. “Harganya berapa, Lik?” tanya Asih pada Pak Lik penjual, sambil menunjuk sebuah kuluk.

“Yang kecil Rp15.000, kalau yang besar Rp25.000. Mau beli yang mana?” tanya si penjual.

“Sebentar, Lik.” Asih menjauh untuk menghitung hasil jualannya.

“Tadi Ibu membawakan 20 ampyang dan 30 enting-enting. Harga satunya Rp2.000. Kalau habis terjual, akan mendapatkan Rp100.000,” gumam Asih sambil mengeluarkan dompetnya.

“Seto mau beli, Mbak,” rengek Seto sambil menarik baju Asih.

Asih menempelkan telunjuknya ke bibir Seto. Tanda Seto harus diam sebentar.

“Kata Ibu, semua keuntungan penjualan hari ini boleh untukku. Keuntungannya 25% = 25/100 x Rp100.000 = Rp25.000.” Asih bergumam lagi sambil berhitung. “Jadi kalau terjual semua, cukup untuk membeli kuluk.”

Tapi masih ada sisa 10 ampyang dan 10 enting-enting di dalam keranjang. Asih menunda membelikan kuluk buat Seto.

“Belum jadi beli, Lik. Uangnya belum cukup,” kata Asih berpamitan.

Asih masih merayu Seto supaya tidak merengek terus, ketika Bu Dhe Nur memanggilnya, “Sih, sini. Bu Dhe beli ampyangnya. Sisa berapa? Enting-entingnya juga sekalian, Bu Dhe beli semua.” Bu Dhe Nur senang melihat Asih yang giat membantu ibunya.

“Jadi berapa semuanya?” tanya Bu Dhe Nur.

“Semua Rp40.000, Bu Dhe,” jawab Asih sambil membungkus semua ampyang dan enting-enting di keranjangnya.

“Oke, sebentar Bu Dhe ambilkan uangnya, ya.”

Ketika menunggu, Asih melihat banyak bulu ayam berserakan di dekat kandang ayam Bu Dhe Nur. Tiba-tiba Asih punya ide.

“Ini, Sih. Sisanya buat jajan Asih dan Seto saja,” kata Bu Dhe Nur sambil memberikan selembar lima puluh ribuan.

“Wah, terima kasih banyak, Bu Dhe,“ sahut Asih berbinar. “Oiya, Bu Dhe, Asih boleh minta bulu-bulu ayam itu?”

“Ambil saja yang banyak,” kata Bu Dhe Nur.

“Terima kasih, Bu Dhe.”

Asih memilih bulu-bulu yang masih bagus dan bersih. Setelah dirasa cukup, Asih segera berpamitan.

“To, kita langsung pulang, ya. Nanti Mbak buatkan kamu sesuatu yang bagus,” ajak Asih.

Seto masih cemberut, tapi menurut ketika Asih menggandengnya pulang.

Sampai di rumah, Asih segera mengambil karton sisa prakaryanya, memotong seukuran kepala Seto. Lalu Asih menempelkan bulu-bulu ayam yang sudah dibersihkan. Berjajar rapi mulai dari pinggir sampai ujung kepala, sampai ke pinggir lagi, begitu seterusnya sampai membentuk mahkota besar yang indah.

Melihat yang dibuat mbaknya, Seto menari-nari kegirangan. “Asyik, Seto punya kuluk.”

Selesai membuat, kuluk dipakaikan di kepala Seto. Pas. Seto senang sekali.

“Tunggu dulu,” kata Asih sambil berlari ke belakang rumah.

Asih mengambil sebuah tong plastik bekas yang sudah dibersihkan, lalu memasangkan tali di sekelilingnya. Jadilah drum kecil. Asih mengalungkannya di pundak Seto, lalu memberinya sepasang kayu sebagai pemukul.

“Yak, Seto si pemain drumblek, dukdurukduruk plek duk, dukdurukduruk plek duk,” ucap Asih.

Sisa hari itu, Seto bermain dengan hati riang.

Ibu ikut senang melihatnya. Asih pun tak kalah senang. Karena adiknya gembira, dan karena keuntungan jualan hari ini bisa ditabungnya.

 


**Selesai**


Rata-rata Nilai Wayan

 


Ulangan Akhir Semester baru saja berakhir. Nilai-nilai hasil ulangan mulai dibagikan.

“Bu, Wayan dapat nilai 90 untuk pelajaran matematika,” kata Wayan.

“Wah, bagus sekali. Ibu lihat kamu juga semangat belajar waktu ulangan matematika kemarin,” puji Ibu bangga.

“Wayan suka matematika soalnya, Bu. Bikin penasaran,” sahut Wayan bersemangat. “Tapi Wayan sebal, seharusnya Wayan bisa dapat nilai sempurna. Sayangnya salah hitung, 5 + 3 malah 15.” Wayan menunjukkan kekecewaan dengan memonyongkan ujung bibirnya.

“Ya sudah, nggak apa-apa. Bagus tahu salahnya di mana. Jadi lain kali harus lebih teliti.” Ibu mengelus pipi anak semata wayangnya dengan lembut.

Wayan menganggukkan kepala. “Siap. Ulangan yang akan datang harus lebih teliti!” seru Wayan mengulang ucapan ibunya.

“Terus selain matematika, ada nilai pelajaran lain yang sudah diumumkan juga?” tanya Ibu.

Wayan cengengesan. “Sudah sebagian, Bu. Tapi nggak sebagus matematika.” Wayan mengeluarkan selembar kertas berisi tabel mata pelajaran dan nilainya.


Pelajaran

Nilai

PKn

75

Bahasa Indonesia

80

Matematika

90

IPA

85

IPS

70

Olahraga

80

“Nggak apa-apa, yang penting kamu sudah berusaha yang terbaik,” kata Ibu yang mengerti kalau Wayan lemah di pelajaran hafalan. “Lalu, berapa nilai rata-rata Wayan sekarang?” Tiba-tiba Ibu bertanya.

“Wah, iya. Bisa tahu nilai rata-rata sementaranya, ya. Sebentar Wayan hitung.” Segera Wayan mengeluarkan pensil dari tasnya. “Semua nilai dijumlah, lalu dibagi banyaknya nilai kan, Bu?”

Ibu mengangguk sambil tersenyum melihat Wayan yang semangat menghitung.

“Nilai rata-rata Wayan 

Wah, ternyata nilai rata-rata Wayan masih ada di atas nilai rata-rata kelas,” kata Wayan setelah selesai menghitung. “Semester depan harus lebih giat lagi, ah. Supaya bisa dapat hasil yang lebih bagus.”

Ibu tersenyum sambil membelai kepala Wayan. “Nah, gitu, dong. Harus jadi lebih semangat belajarnya, ya. Kalau mau berusaha, tidak ada yang sia-sia, kok. Pokoknya semangat aja dulu.”

Wayan memeluk ibunya. Lalu, tiba-tiba,  “Eh, Bu, kok seperti bau hangus, ya.”

“Owalah, tempe goreng ...”

 

**Selesai**

Kuluk Drumblek Buat Seto

Beberapa waktu lalu, saya mengikuti Lomba Menulis Festival Cerita Anak Nusantara. Saya memilih tema kesenian tradisional Salatiga, drumblek,...